IAIN Manado – Ekspresi kehidupan beragama serta bernegara kini sedang mengalami persoalan. Ia telah berubah wajah di tengah masyarakat kita. Argumentasi utamanya adalah merujuk pada laporan riset literatur keislaman generasi milenial yang dilakukan Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, PPIM UIN Jakarta dan PusPIDep Yogyakarta di 16 kota se-Indonesia tahun 2018. Hasil penelitian menunjukkan kerentanan kaum muda Indonesia khususnya pelajar dan mahasiswa terhadap radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme ternyata berkait erat dengan kegamangan mereka menghadapi problem-problem struktural dan ketidakpastian masa depan. Konflik atas nama agama di atas cenderung melahirkan heterophobia. Heterophobia didefinisikan sebagai “ketakutan terhadap keberlainan”. Ketakutan ini tidak lepas dari faktor streotipe, prasangka bahkan diskriminasi. Ada satu teori dominan yang mengasumsikan bahwa pendidikan adalah sebuah korelasi bahkan persyaratan penting bagi tatanan demokratis.

Pada Senin, 11 Oktober 2021, Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) IAIN Manado mencoba merespons hal di atas dengan mengadakan kuliah tamu versi webinar dengan tema,”The Role Of Religious Education In The Pursuit Of Tolerance and Non-Discrimination”. Para peserta berasal dari kampus lintas iman seperti UIN Sumatera Utara, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Universitas Al Azhar Indonesia Yogyakarta, Institut Agama Kristen Negeri Manado, Universitas Kristen Indonesia Tomohon, Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, IAIN Gorontalo dan Universitas Katolik De Lasalle Manado. Total partisipan aktif sekitar 500 orang. Kuliah tamu dibuka secara resmi oleh Rektor IAIN Manado, Delmus Puneri Salim, MA, M.Res, Ph.D serta Dekan FTIK, Dr. Ardianto, M.PD. Model pendidikan agama berbasis toleransi dan anti diskriminasi memiliki landasan yuridis dalam ketentuan UU No. 20 Tahun 2003 terkait Sistem Pendidikan Nasional dan UU No 39 tahun 1999 terkait Hak Asasi Manusia. Berikut adalah intisari pemikiran Prof. Ahmad Najib Burhani, M.A M.Sc., Ph.D dan Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah sebagai pembicara kunci.

Pertama, untuk membangun model pendidikan agama berbasis toleransi dan anti diskriminasi, Prof. Amin Abdullah mengajukan pembaharuan metodologi melalui paradigma integrasi-interkoneksi. Paradigma ini hendak merubah budaya studi agama yang hanya bersifat pengajaran (teaching oriented) ke arah penelitian (research oriented). Pendidikan agama berbasis pengajaran sesungguhnya hanya melahirkan peserta didik yang bermental the context of justification (mempertahankan dogma) bukan the context of discovery (penemuan hal-hal baru yang historis). Prof. Amin Abdullah ingin To have religion menjadi to be religious. Secara konseptual, metodologi pendidikan agama yang diajukan Prof. Amin Abdullah terbagi atas tiga tahap: (1) Semipermeable. Tahap ini merekomendasikan para guru/dosen untuk mencari titik temu antara kultur sains yang bersifat kausalitas dan kultur agama yang bersifat makna sehingga keduanya saling terkait lalu menembus meski tidak secara total. Para guru/dosen mesti membuka diri untuk berkomunikasi dan saling menerima masukan dari disiplin di luar bidangnya. Hubungan saling menembus ini melahirkan corak klarifikatif, komplementatif, afirmatif, korektif, verifikatif, maupun transformatif. Jika guru/dosen hanya terpenjara pada linearitas keilmuan, maka wajah pendidikan agama akan semakin menyempit, kusam dan tertinggal dari wacana global yang memiliki karakter inklusive-continous improvement;

(2) Intersubjective Testability. Tahap ini menjelaskan bahwa konsep bukanlah diberikan begitu saja oleh alam, tapi ikut dikonstruksi oleh guru/dosen itu sendiri sebagai pemikir yang kreatif (creative thinker). Oleh karena itu, pemahaman tentang objektif mesti disempurnakan menjadi intersubjective testability yakni ketika semua komunitas keilmuan dalam hal ini guru/dosen ikut bersama-sama berpartisipasi menguji tingkat kebenaran penafsiran sekaligus pemaknaan data keagamaan yang diperoleh dari lapangan. Kehidupan sekarang begitu kompleks jika hanya diselesaikan dengan satu bidang keilmuan saja. Maka pendekatan inter-disiplin, multi-disiplin, dan bahkan trans-disiplin keilmuan mutlak perlu kita kembangkan di tengah-tengah kehidupan bangsa yang multicultural dan multireligi ini; (3) Creative Imagination. Imajinasi kreatif perlu dibudayakan oleh guru/dosen untuk mensintesakan fakta sosial dalam agama. Fakta sosial itu terdiri dari fakta eksternal, fakta determinisme koersif dan fakta general. Ketika pendidikan agama berhasil dihubungkan dengan fakta sosial maka akan muncul sikap-sikap yang moderat. Dimensi teologi perlu diimbangi dengan dimensi sosiologi.

Kedua, untuk membangun model pendidikan agama berbasis toleransi dan anti diskriminasi, Prof. Ahmad Najib Burhani mengajukan ide mengenai etika pendidikan agama dalam demokrasi, yakni (1) Etika Kemanusiaan. Etika kemanusiaan menjadi keharusan dalam merawat masa depan keindonesiaan. Etika ini memiliki identitas, tradisi dan transformasi. Ciri khas dari identitas etika kemanusiaan adalah selalu menampilkan semangat persamaan, kebebasan serta persaudaraan. Agar etika ini menjadi sebuah tradisi, maka dapat diaktualisasikan melalui kurikulum pendidikan agama. Kurikulum itu harus saling terhubung dengan enam dimensi hubungan agama yaitu dimensi teologis, dimensi filosofis, dimensi historis, dimensi sosial, dimensi politik dan dimensi kultural. Transformasi dari etika ini adalah munculnya pengetahuan, sikap serta keterampilan guna mengelola hubungan lintas etnis/agama di Indonesia secara rasional, bertujuan dan terorganisir;

(2) Etika Keragaman. Etik keragaman memiliki peran penting dalam konteks demokrasi. Ciri khas dari identitas etika tersebut adalah selalu menampilan jiwa kosmopolitan. Bisa terhubung dengan berbagai kelompok dari segi persepsi, konsepsi maupun empiris. Agar etika ini menjadi sebuah tradisi, maka dapat diaktualisasikan melalui kurikulum pendidikan ilmu pengetahuan sosial. Kurikulum itu harus memuat tiga unsur. Pertama, menghidupkan gerakan inclusion (menerima berbagai keragaman masyarakat dan memasukannya ke dalam suatu tatanan sistem). Kedua, menghidupkan gerakan recognition (mengakui keberadaan semua anggota masyarakat lintas etnis/agama). Ketiga, menghidupkan gerakan partisipation (melibatkan secara aktif semua anggota masyarakat tersebut dalam agenda bersama). Transformasi dari etika ini adalah munculnya kekuatan relasional, emosional juga kolektivitas; dan (3) Etika Kewarganegaraan. Etika kewarganegaraan merupakan fase akhir yang perlu diterapkan agar stabilitas kebhinekaan tetap bertahan. Ciri khas dari identitas etika tersebut adalah selalu menampilkan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani. Hubungan kelompok lintas etnis/agama tidak bercorak struktural (hegemonisasi) melainkan fungsional (egaliter). Agar etika ini dapat menjadi sebuah tradisi, maka dapat diaktualisasikan melalui kurikulum pendidikan kewarganegaraan. Kurikulum itu harus memuat tiga unsur. Pertama, memberi kebebasan untuk merumuskan preferensi-preferensi politik melalui jalur perserikatan, informasi, dan komunikasi. Kedua, memberikan kesempatan untuk bersaing secara teratur melalui cara-cara yang damai. Ketiga, tidak melarang siapapun untuk memperebutkan jabatan-jabatan politik yang ada. Transformasi dari etika ini adalah mereka akan mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial supaya tidak menjadi antagonis yang membahayakan sekaligus mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan dari masyarakat Indonesia seluruhnya.
Lembaga pendidikan agama adalah mesin untuk memproduksi generasi-generasi muda yang toleran, ingin hidup bersama dan senantiasa mengedepankan kepentingan publik. Setiap guru memiliki tanggungjawab besar untuk menerapkan variasi etika di atas pada setiap kurikulum mata pelajaran. Pemerintah pun perlu melakukan kontrol terhadap aktivitas belajar mengajar yang berlangsung agar bisa menganalisis fakta, masalah dan solusi terkait sistem pendidikan. Sehingga, tidak mengalami benturan dengan amanat Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika serta NKRI. Karenanya, mari menjadi agen perubahan untuk menjadikan Indonesia ini sebagai tempat hidup yang lebih baik, tempat yang merangkul segala perbedaan. Masa depan kebhinekaan tidak pernah dapat diselesaikan sendirian, melainkan bisa diciptakan secara bersama-sama*. (Almunawar Bin Rusli, M.Pd)