IAIN Manado – Rilis survai tentang Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI mendapat penilaian yang beragam dari berbagai kalangan terutama dari kalangan pegiat kerukunan umat beragama di Indonesia. Kritik paling dominan dari Indeks KUB yang merupakan hasil survai Pusat Penelitian dan Pengembangan Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan pada Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan (Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat) Kemenag itu ialah metodologi dan indikator pengukurannya.
Menyikapi keragaman penilaian itu, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado bekerja sama dengan Bee Edu Society (BEST) – Komunitas Pendidik dan Peneliti Lintas Agama dan Kepercayaan dan PUKKAT – Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur melaksanakan Webinar Nasional pada Sabtu (19/9). Webinar yang berlangsung melalui zoom meeting tersebut diawali dengan prolog yang disampaikan oleh Sulaiman Mappiasse (Founder BEST) dan Epilog yang disampaikan oleh Denni Pinontoan (Co-Founder BEST).
Dalam kegiatan Webinar Nasional kolaborasi FTIK, BEST, dan PUKKAT yang dipandu oleh Pdt. Ruth Ketsia Wangkai, aktivis dan peneliti PUKKAT ini menghadirkan narasumber Ismail Hasani (SETARA Institute), Nia Sjarifuddin (Ketua ANBTI – Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika), Saprillah (Kepala Balitbang Kemenag Makassar), dan Tantowi Anwari (Manajer Advokasi SEJUK – Serikat Jurnalis untuk Keragaman).
Ismail Hasani yang merupakan dosen Hukum Tata Negera pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam presentasinya mengungkapkan bahwa indeks Kerukunan Umat Beragama yang dirilis oleh Kementerian Agama dapat memandu pemerintah daerah untuk berlomba-lomba memperbaiki tingkat kerukunan umat beragama di Indonesia dan hal ini menurutnya sejalan dengan RPJM yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pun demikian, Ismail Hasani sebagai salah satu pendiri SETARA Institute juga mengkritisi indeks Kerukunan Umat Beragama yang dirilis oleh Kemenag RI tersebut. Menurutnya, indeks Kerukunan Umat Beragama idealnya mengacu dan didasarkan pada persepsi masyarakat dan benar-benar mengukur elemen kota, yakni regulasi (peraturan daerah), tindakan pemerintah meliputi perencanaan tentang program kerukunan dan anggarannya, society, dan demografi agama. “Pemerintah tidak cukup hanya melakukan dan dan merilis indeks Kerukunan Umat Beragama, tetapi perlu ada treatment”, lanjut Ismail.
Sementara itu, Saprillah yang juga terlibat dalam tim survai Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag menegaskan bahwa dalam riset indeks Kerukunan Umat Beragama pendekatan yang digunakan ialah persepsi publik tanpa melihat variabel agama. “Setiap individu berpeluang menjadi responden penelitian dari Aceh hingga Papua tanpa melihat identitas agamanya”, lanjutnya. Menurutnya, indeks Kerukunan Umat Beragama adalah satu dari tiga indikator kinerja Kementerian Agama yang sudah dicanangkan. Dua indeks kinerja lainnya ialah indeks Kesalehan Sosial dan indeks Pelayanan KUA.
Menyinggung isu dilema hubungan Minoritas – Mayoritas di Indonesia, Saprillah, penulis novel CALABAI: Perempuan dalam Tubuh Lelaki itu berpendapat bahwa yang ada dalam masyarakat ialah ‘delusi mayoritarianisme’ dan hal ini bisa muncul dan berkembang dalam kelompok agama manapun.
Menanggapi pertanyaan peserta tentang penetapan indeks Kerukunan Umat Beragama dalam kategori rukun dan kurang rukun, Saprillah menjelaskan bahwa salah satu apsek yang dinilai ialah kemampuan daerah mengatasi berbagai konflik keagamaan dengan cepat, yaitu adanya katup sosial, fungsionalnya organ-organ sosial seperti FKUB dan kelompok-kelompok sosial dalam mengatasi berbagai konflik atas dasar agama di masyarakat. “Dan, inilah yang terjadi di Sulawesi Utara”, ungkapnya.
Nia Sjarifuddin, Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, yang tampil menjadi pembicara ketiga menyatakan bahwa Indonesia memiliki kearifan lokal yang sangat fungsional dalam merajuk harmoni antaranak bangsa. Kearifan lokal ini merupakan modal sosial yang perlu direvitalisasi. Namun, menurut Nia, ini telah banyak mengalami pergeseran. Ia mencontohkan kearifan lokal Sunda yang dalam banyak unit kearifan lokalnya sangat menghargai dan menghormati sesama.
Narasumber lainnya yang tampil di bagian terakhir ialah Tantowi Anwari (Manajer Advokasi SEJUK – Serikat Jurnalis untuk Keragaman). Dalam pandangan Tantowi, ada semacam kontradiksi antara idealisme ajaran agama di satu sisi dan praktik pengamalan ajaran agama di sisi lainnya. Namun, ia juga mengapresiasi kerja-kerja Kemenag melalui Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat dalam melakukan riset tentang Indeks Kerukunan Umat Beragama dengan catatan bahwa indeks-indeks kerukunan itu tidak bersifat artifisial, yakni benar-benar menggambarkan keadaan yang sesungguhnya.
Secara terpisah, Dekan FTIK, Ardianto, menjelaskan tentang Webinar Nasional kolabarasi FTIK IAIN Manado, Bee Edu Society (BEST), dan PUKKAT bahwa webinar ini merupakan upaya Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan mewujudkan visi IAIN Manado Menjadi Perguruan Tinggi Islam yang Bermutu Berbasis Masyarakat Multikultural di Asia Tenggara Tahun 2035. Menurutnya, pendidikan Islam di Indonesia dituntut untuk memperhatikan tiga hal sekaligus, yakni realitas multikultural, misi ajaran Islam, dan misi mencerdaskan bangsa. “Dan, dalam konteks inilah program-program kolaboratif dengan berbagai lembaga dan elemen masyarakat akan sangat menentukan pencapaian idealisme pendidikan Islam yang juga sekaligus merupakan tanggung jawab moral FTIK sebagai unit pelaksana pendidikan pencetak tenaga guru Pendidikan Agama Islam”, pungkasnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa sebagai bagian dari peran fakultas mengembangkan Pendidikan Agama berwawasan multikultural sebagai penerjemahan dari visi besar IAIN Manado, FTIK telah merencanakan kegiatan Workshop Pembelajaran Pendidikan Agama untuk Dosen Lintas-Agama dan Kepercayaan di Perguruan Tinggi yang akan melibatkan dosen-dosen agama dari berbagai perguruan tinggi dengan latar belakang agama dan etnis yang berbeda-beda. Melalui workshop ini, para dosen pendidikan agama dari berbagai kalangan agama diharapkan mendapatkan pemahaman tentang agama dan budaya lain dan keterampilan berdialog secara praktis bahkan kritis dengan para pengajar lintas agama. Selain itu, para dosen pendidikan agama juga diharapkan memahami filosofi, pedagogi dan praktik pengajaran agama berbasis multikultural dan multi-agama. Pemahaman seperti ini diyakini dapat mengubah paradigma mereka dalam mengajarkan agama di kampus masing-masing, dari pengajaran perspektif internal saja, menjadi pengajaran agama yang tidak melupakan perspektif eksternal. (at)